Selasa, 10 Mei 2011

BERITA TERBARU

PERSETERUAN INDONESIA-MALAYSIA, SEJARAH YANG TERULANG


Tokoh nasionalis Medan, Ramlan Rangkuti, menyebutkan, perseteruan antara Indonesia dengan Malaysia, merupakan sebuah sejarah yang terulang, seperti tahun 1962-1966.

“Kala itu, kedua negara berselisih ini untuk menanamkan dominasinya demi masa depan pulau Kalimantan,” sebutnya kepada Waspada Online, mala mini.

Ramlan menerangkan, historis konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia berawal dari keinginan negeri jiran itu untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Namun keinginan itu ditentang oleh presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai "boneka" Britania. Tahun 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi.

“Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris, Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah,” ucapnya.

Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, tambah Ramlan, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.

“Rencana itu ditentang oleh pemerintahan Indonesia, kala itu presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan itu, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia,” jelasnya.

Kala itu, lanjut Ramlan, di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) mulai melakukan pemberontakan pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa.Namun, sultan lolos, dan meminta pertolongan Inggris, sembari menerima pasukan Inggris, dan Gurkha dari Singapura. Kemudian, pada 16 Desember 1962, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.

Filipina dan Indonesia, sambung Ramlan, resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia, apabila mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan, Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa ada turut campur orang luar. Tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ungkap Ramlan, dimana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan perdana menteri Malaysia saat itu, Tuanku Abdul Rahman, dan memaksanya untuk menginjak Garuda.

“Mengetahui itu, Soekarno langsung murka dan ingin melakukan balas dendam, dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama ganyang Malaysia,” imbuhnya.
  
Pada 20 Januari 1963, menteri luar negeri Indonesia saat itu, Soebandrio, mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia.

Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Kebencian Soekarno terhadap Malaysia inilah, sebut Ramlan, yang melahirkan adanya perintah Dwikora tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta.

“Presiden Soekarno mengumumkan perintah yang isinya, yakni pertinggi ketahanan revolusi Indonesia, dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia,” pungkasnya.

0 komentar:

Posting Komentar